Dengan nama
Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.
Syeikh Abul
Oasim al-Junaid bin Muhammad – rahimahullah — berkata :
“Semoga
Allah mengkhususkan dirimu untuk taat kepada-Nya; memberi peluang kepadamu
untuk selaras dengan-Nya; menjadikanmu sebagai penghuni kewalian-Nya; memilihmu
untuk mahabbah cinta-Nya; mengegaskan dirimu untuk menuju kepada-Nya;
menetapkan padamu menurut ilmu kehendak-Nya; menjadikan perbuatanmu dengan ilmu
yang dikehendaki-Nya; mengembalikan dirimu untuk memperhatikan pada kesimpulan
pemahaman tentang Diri-Nya; menghalangi antara dirimu dengan berbagai halangan
yang memenggal dan rantai yang merintang; menjadikan ucapan-ucapanmu diridhai
di hadapan-Nya dan di sisi-Nya pula engkau dalam keadaan bersih; mencukupkan
dirimu upah setiap yang sibuk dengan-Nya; memberi luang kepadamu untuk bakti
kepada-Nya; menyenangkan dirimu dengan memasrahkan persoalan kepada-Nya;
menghalangi antara dirimu dari setiap pencegah di jalan penempuhan kepada-Nya;
dan menjadikan raja penolong pada setiap hasratmu yang membuatmu tidak bahagia
dalam Menempuh ridha-Nya di sisi-Nya, sesungguhnya Dia adalah Pelimpah
kenikmatan dan yang Mencukupi berbagai hasrat kepentingan.
Seyogyanya
bagi orang yang berakal (sehat) untuk tidak mengabaikan salah satu dari tempat
ini:
Tempat
dimana seseorang apakah kondisi ruhaninya bertambah atau berkurang;
Tempat
dimana ia berkhalwat dengan mendidik dirinya, berdisiplinlah pada aturan yang
harus dilakukannya (dan mendalami penyelidikan pengetahuannya);
Tempat
dimana akalnya dihadirkan untuk memandang aturan-Nya; bagaimana aturan-aturan
bisa berbeda-beda; baik disaat telah malam mupun disiang hari. Akal tidak bisa
jernih manakala tidak mampu kondisi terakhir tersebut, kecuali dengan menepati
aturan yang seharusnya dilakukan dari aturan-aturan pada kedua kondisi ruhani
yang pertama.
Sementara
tempat-tempat dimana ia harus mengenal kondisi ruhaninya, apakah bertambah atau
berkurang, ia harus melakukan khalwat agar tidak direpotkan oleh gangguan
kesibukan yang merusak introspeksinya; yang kelak bisa dilanjutkan dengan arah
menuju penyelarasan disiplin penunaian kewajiban, dimana perilaku taqarrubnya
tidak akan jernih kecuali dengan memenuhi kewajiban-kewajiban fardhu. Kemudian
bangkit, sebagaimana bangkitnya hamba di hadapan Tuhannya yang ingin
melaksanakan perintah-Nya. Maka pada saat demikian, terbukalah baginya
rahasia-rahasia dirinya yang tersembunyi. Ia akan tahu apakah ia termasuk orang
yang telah menunaikan kewajiban atau belum, kemudian ia tidak ragu dengan
posisinya hingga adanya bukti ilmu yang menyibaknya. Apabila ia melihat adanya
cacat, segera memperbaikinya, dan tidak menjalankan amal selain amal itu.
Perilaku demikian ini merupakan kondisi ahli shidq. “Dan Allah mengokohkan
melalui pertolongan-Nya kepada orang yang dikehendaki-Nya, sesungguhnya Allah
Maha Kuat lagi Perkasa.”
Sedangkan
tempat-tempat khalwat untuk mendidik diri dan mendalam kondisi pengetahuannya,
maka seharusnya bagi yang menuju arah ini, dan ingin mendapatkan nasihat dalam
beramal — maka kadang-kadang berbagai hal itu menipu dirinya — dimana batas
sebenarnya tidak diketahui kecuali oleh orang yang teliti mata hatinya. Apa
sebenarnya yang terjadi di sana, berupa dorongan mencintai perbuatan baik.
Sebab diri
itu bila cenderung untuk berbuat baik, akan menjadi etika pada dirinya, dan
diri tenteram pada tempat yang menjadi keahliannya, sekaligus ia akan membelot
dengannya. Diri melihat yang berlaku padanya, berupa tindakan kebaikan tersebut
sebagai kemampuannya, kemudian musuh yang mendiami. mengintai untuk
menghancurkannya, mengalir melalui tempat berjalannya darah. Musuh itu
mengancam dengan kekuatan tipu dayanya pada kealpaan yang tersembunyi, lalu ia
merampasnya melalui kecondongan hawa nafsu, yang tak ada lagi jalan kecuali
melalui kondisi tersebut, bila ia tidak merasakan rampasannya, ia mendorong
dari dirinya dan mengenal dirinya untuk lebih bergegas kembali kepada Dzat yang
tidak bisa menjamin kecuali dengan-Nya. Kemudian ia meneliti dirinya lebih
mendalam seketika dimana musuh bisa meraihnya. Lalu ia menjaganya dengan
kenikmatan bersegera, mencari pertolongan dan rasa butuh yang sangat serta
mencari sandaran, sebagaimana Nabi yang mulia, putra Nabi yang mulia, Yusuf bin
Ya’qub bin Ibrahim –alaihim as-salam:”Dan jika tidak Engkau hindarkan dari
padaku tipu daya mereka, tentu aku akan cenderung untuk (memenuhi keinginan
mereka) dan tentulah aku termasuk orang-orang yang bodoh.” (Q.s. Yusuf: 33).
Yusuf as,
mengetahui bahwa tipu daya musuh dengan kekuatan hawa nafsu, tidak akan bisa
dihindari dengan kekuatan diri.”Maka Tuhannya memperkenankan doa Yusuf, dan Dia
menghindarkan Yusuf dari tipu daya mereka. Sesunggahnya Dia-lah Yang Maha
Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Q.s. Yusuf: 34).
Adapun
tempat-tempat yang menjadi tempat presentasi akalnya untuk memandang tempat
berlakunya aturan hukum, dan bagaimana Dia membalik aturan, adalah tempat
paling utama dan paling luhur. Sebab Allah swt. memerintahkan seluruh
makhluk-Nya agar terus-menerus beribadah dan tidak bosan-bosan berbakti
kepada-Nya. Firman-Nya:”Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia kecuali untuk
beribadah kepada-Ku.” (Q.s. Adz-Dzaariyaat: 56).
Dan para hamba
itu mendapatkan jaminan di dunia, sementara di akhirat mendapatkan pahala.
Allah swt. berfirman:”Wahai orang-orang yang beriman, ruku’lah, dan sujudlah,
serta sembahlah Tuhanmu, dan berbuatlah kebaikan agar kamu mendapatkan
kebahagiaan.” (Q.s. Al-Hajj: 77).
Semua itu
merupakan ibadah yang diharuskan kepada semua makhluk, dan Dia menetapkan agar
diketahui bagaimana aturan-aturan itu dilaksanakan. Allah swt. juga memaparkan
keluhuran ilmu dan pengetahuan. Dia berfirman, “Setiap hari Dia dengan urusan.”
(Q.s. Ar-Rahman: 29). Yakni urusan makhluk.
Engkau —
wahai orang yang berdiri teguh — agar selalu melihat bahwa dirimu merupakan
makhluk dengan urusannya. Apakah engkau mengetahui perilakumu itu diridhai di
sisi-Nya? Tak seorang pun mampu menghadirkan akalnya kecuali dengan memalingkan
diri dari dunia dan seisinya (di sisi-Nya), keluar dari arah-Nya. Apabila dunia
usai, hangus, dan hangus pula penghuninya, berpaling dari hati, maka menjadi
sunyi dengan bercakap-cakap pada pelaksanaan dan beragamnya aturan serta
rincian pembagian. Hati tidak akan kembali, pada suatu yang sifatnya mengambil
manfaat dari dunia ini yang mana, hati telah keluar dan lari dari dunia.
Tidakkah
engkau melihat ketika Haritsah berkata, “Diriku telah jemu dari dunia.”
Kemudian ia melanjutkan, “Seakan aku melihat Arasy Tuhanku begitu jelas.
Seakan-akan aku saling mengunjungi antara ahli surga, seakan-akan, seakan…”
Demikianlah kondisi sebagian kaum Sufi.
Oleh sebab
itu, wahai saudaraku, berhasratlah beramal untuk menyelamatkan dirimu, keikhlasan
pembebasan diri dari perbudakan nafsu yang hina, dan menyelamatkan diri dari
bercakap-cakap pada penghuni dunia. Setiap jiwa yang merasakan lalainya
kealpaan setetes saja, pasti akan ditimpa kekerasan hati yang memabukkan akal
dan menghanguskan pengetahuan, fitnah akan masuk dengan cara yang halus. Siapa
yang membuka tutup bencana, akan terbuka pula tutup kandungan. Ia tidak akan
menikmati sepoi-sepoi lezatnya beramal.
Sungguh
bahagia kaum yang memandang mereka, mengikuti mereka dan menunjukkan mereka
jalan yang ringkas. Mendudukkan mereka pada argumentasi yang menyelamatkan,
memberi cahaya dakwah mereka untuk memahami yang tersembunyi, melalui diskusi
pemahaman perintah, ketika Allah swt. berfirman:”Bergegaslah kamu menuju
ampunan dari Tuhanmu, dan surga yang luasnya seluas langit dan bagi yang
disediakan bagi orang-orang yang takwa.” (Q.s. Ali Imran: 133).
Kemudian
akal bangkit yang disertai semangat fisik dengan pengarahan yang baik, untuk
menegakkan apa yang menjadi bagian mereka di hadapan orang yang peduli pada
ajakannya, dan mata menjadi sejuk dan gembira karena apa yang telah disampaikan
kepada mereka melalui khalwat. Maka ia pun berkhalwat bersama mereka yang tidak
senang menempuh jalan selain jalan-Nya, tidak ber-tawassul kepada-Nya kecuali dengan-Nya,
dan mereka tidak meminta sesuatu kecuali agar dilangsungkan khidmah kepada-Nya,
pertolongan yang baik dalam berselaras dengan-Nya. Para musuh putus asa dengan
mereka, wibawa hawa nafsu telah mati di hadapan mereka, sedangkan mata cinta
menyejukkan mereka. Mereka tidak ingin meraih apa-apa yang lebih besar
dibanding apa yang diraihnya, tidak ingin memperoleh nikmat dibanding apa yang
telah dianugerahkan kepada mereka, tidak pula menginginkan daya. Mereka
dijernihkan oleh ilmu, dan muamalah (ibadah) telah mendidik mereka, sementara
mereka dimuliakan oleh sikap memastikan hanya kepada Allah Ta’ala dan mereka
tidak membutuhkan selain kepada-Nya. Mereka adalah para yang dicari Allah dan
pencari-Nya; pecinta Allah dan kekasih-kekasih-Nya. Orang-orang berhasrat rindu
memandang mereka, dan merasa rugi berpisah dengan mereka, dan amat gembira bisa
berbicara dengan mereka. Allah menghendaki mereka dan mereka pun
menghendaki-Nya, mereka mencari Allah dan mereka pun menemukan-Nya.Maka,
barangsiapa ingin selamat, bergegaslah meraih ruh kehidupan, dengan mencari
hubungan pada anugerah-Nya. Karena sesungguhnya Allah itu adalah harapan para
wali, cita-cita para cendekiawan, yang dicari orang-orang Sufi. Kalau bukan
karena-Nya, mereka pun tak akan mendapatkan petunjuk menuju kepada-Nya.
Siapa yang —
Allah –menyebut mereka, Allah akan menunjukkan kepada-Nya. Petunjuk itu tidak
menghimpit hati mereka, dan Allah tidak memberi beban yang tidak kuat untuk
dilakukan oleh mereka yang lain, bahkan Allah tidak menjauhi mereka dan tidak
menyingkirkan jiwa-jiwa mereka. Allah tidak menyiksa mereka atas kelalaian
mereka. Bahkan memberi nikmat mereka melalui penerimaan udzur ketika menerima
mereka, memaafkan atas ketidakmampuan fisik mereka, dan mendudukkan mereka
dengan persahabatan yang indah. Memperkuat komitmen mereka dengan tradisi
generasi ummat-ummat terdahulu dengan beban yang baik. Membersihkan mereka dari
azab yang dahsyat, memberi petunjuk mereka jalan syukur dan ridha di sisi-Nya,
mengasihi antara mereka dan para pengamat keserupaan dan problema. Allah
menjaga hati, mata dan pendengaran mereka dari mendekat pada kebinasaan. Dan
mereka pun menjaga diri dari membincangkan sesuatu dari kebinasaan; Sesuatu
yang merusak, dan tragedi dunia menjadi sesuatu yang hina di mata mereka.
Mereka merasa senang atas pilihan yang diberikan Wali mereka. Taqarrub mereka
adalah penyucian, tasbih, pambagusan, dan tahlil. Rasa senang dan sejuk mereka
ada pada ketika mereka bermunajat. Tak ada yang menghalangi mereka ketika
Mereka bertemu dengan-Nya di akhirat.
Bahwasanya,
makhluk itu terputus dari Allah Azza wa Jalla, karena mereka mengikuti hawa
nafsu, patuh pada lawan-lawannya, membincangkan bunga-bunga dunia, memprioritas
apa yang menghancurkan dan meninggalkan apa yang mengabadikan.Karena itu
bergegaslah saudaraku, untuk memperbaiki kesalahan umur yang berlalu, kealpaan
dan penyimpangan serta kelambatan, dalam, rangka menjaga sisa usiamu dengan
cara bangkit, takut, tekun, waspada sebelum waktu berlalu, datangnya maut.
Sebab Allah tidak ridha kepada generasi sesudahnya kecuali beramal sebagaimana
amal yang diridhai pada generasi sebelumnya. Karena itu leluaskanlah dirimu
dalam pembebasan belenggu dengan menanggalkan pakaian yang merepotkan. Sebab
suatu hari Allah swt. akan membuka segala aib, pada hari itu amal-amal
ditampakkan. Hari, dimana seorang saksi atau teman, tidak bisa menolong dengan
amalnya, dan tak seorang pun mengharapkan, kecuali pada pengampunan dan maaf
dari Tuhannya. Suatu hari, yang begitu banyak penyesalannya, begitu kuat caciannya.
Mulai saat
ini, semampang permintaan maaf diterima dan waktu masih luang, amal masih
terbentang, tobat masih diterima, dosa bisa dihapus oleh inabah, penyesalan dan
kata-kata masih didengar, kebajikan masih diikuti, kebenaran masih jelas, jalan
begitu gamblang, dan hujjah masih kokoh.Hujjah yang benar itu hanya bagi Allah,
seandainya Dia menghendaki, niscaya Dia memberi petunjuk kepadamu semua.
Sedangkan pengaruh kehendak hidayah itu sangat jelas di mata orang yang
mendapatkan hidayah. Di antara tanda orang yang mendapatkan hidayah adalah
memiliki sifat-sifat, antara lain ringan taat, “Cinta penyelarasan dengan-Nya,
melihat diri sendiri dengan mata hina, memutuskan diri untuk menegakkan
kewajiban, kasih sayang, persaudaraan, penyucian, saling mencintai, saling
menolong, memprioritaskan kepada ahli taqarrub dan mereka yang menuju Dzat
Allah Azza wa Jalla dibanding diri mereka sendiri, memberi bantuan kepada ahli
kewalian, bergerak menjauhi perkara yang diharamkan Allah, ridha yang disertai
sabar atas persoalan yang berlalu, merasa ringan dan ringan dalam memberi upah,
teliti, detil serta hati-hati, dan menghargai waktu. Berpijak pada sikap yang
ala kadarnya dalam memberikan kegembiraan kepada orang lain, bergaul dan duduk
bersama mereka. Tidak mengungul-ungulkan mereka, yang dalam konteks ini, Allah
berwasiat kepada Nabiyullah saw.:”Dan janganlah kedua matamu berpaling dari
mereka (karena) mengharapkan perhiasan kehidupan dunia ini.” (Q.s. Al-khafi
:28)
Semoga Allah
menjadikan kami dan kalian tergolong orang yang mengetahui Hak Allah dan
mengamalkannya. Sibuk dengan Hak Allah dan tidak disibukkan oleh faktor yang
mengabaikan Hak Allah itu. Semoga Allah melindungi kami dan engkau, sepanjang
perlindungan-Nya kepada kita serta memperbagus pertolongan-Nya kepada kita.
Hendaknya engkau benar-benar menunaikan syukur dan melanggengkan dzikir.
Dia-lah Pelimpah Kebajikan, Yang Menjanjikan surga bagi hamba-Nya, dan
Mengancam mereka dengan neraka,Kitab ini selesai seiring dengan memuji Allah
dan anugerah-Nya. Semoga shalawat dan salamnya terlimpah kepada junjungan kita
Muhammad dan seluruh keluarganya.
—(ooo)—
Seorang
murid Syaikh Junaid merasa telah mencapai derajat kesempurnaan.
“Lebih baik
aku menyendiri,” pikirnya.
Maka ia pun
menyendiri di sebuah sudut kamarnya dan duduk di sana selama beberapa waktu.
Setiap malam, seekor unta dibawa ke hadapannya dan dikatakan padanya, “Kami
akan membawamu ke surga.” Ia pun menunggangi unta itu dan berkendara sampai
tiba di sebuah tempat yang menyenangkan dan membahagiakan, tempat yang dipenuhi
oleh orang orang tampan. Di sana berlimpah berbagai jenis makanan dan air yang
mengalir. Ia tinggal di sana hingga fajar; kemudian ia akan tertidur dan telah
berada di kamarnya ketika terjaga. Ia pun menjadi bangga dan sombong karena hal
ini.
“Setiap
malam aku dibawa ke surga,” katanya membanggakan diri dihadapan murid-murid
yang lainnya.
Kata-katanya
ini sampai kepada Syaikh Junaid. Maka Syaikh Junaid pun mendatangi kamar
muridnya itu. Di sana Syaikh menemukannya mempraktekan tatakrama yang tinggi.
Syaikh
Junaid bertanya padanya tentang apa yang terjadi. Si murid pun menceritakan
keseluruhan cerita kepadanya.
“Malam ini,
saat engkau dibawa ke sana, ucapkanlah tiga kali: ‘Laa Haula walaa Quwwata Illa
Billahil ‘Aliyyil ‘Adzim” kata Syaikh Junaid.
Malam itu si
murid mengalami apa yang biasanya terjadi. Dalam hatinya, ia tidak mempercayai
apa yang telah dikatakan oleh sang syaikh kepadanya. Namun, bagaimanapun juga,
saat ia tiba di tempat itu, ia coba coba mengucapkan: “Tiada daya dan kekuatan
kecuali dengan izin Allah, Yang Maha Tinggi, Yang Maha Agung.” Seketika, semua
yang ada di sana berteriak dan pergi melarikan diri. Ia menemukan dirinya
berada di atas gundukan kotoran hewan dengan tulang-tulang berserakan di
sekitarnya. Menyadari kesalahannya, ia pun bertobat dan kembali ke majelis
Syaikh Junaid.
Ia telah
belajar bahwa bagi seorang murid, menyendiri adalah racun yang mematikan.
Suatu kali,
Hadhrat Maulana Syaikh Junaid al Baghdadi menderita sakit mata. Beliau Pun
memanggil seorang tabib.
Tabib itu
berkata, “Jika matamu terasa berdenyut denyut, jangan biarkan matamu itu
terkena air,”
Namun ketika
tiba waktu shalat, Syaikh Junaid malah berwudhu, shalat, kemudian pergi tidur.
Ketika ia bangun, matanya telah sembuh. Ia mendengar sebuah Suara berkata,
‘Junaid mengabaikan matanya demi memilih keridhaan Kami. Jika, demi tujuan yang
sama, ia memohon ampunan bagi para penghuni neraka, niscaya permohonannya akan
Kami kabulkan’.”
Keesokan
harinya, sang tabib kembali mendatangi Syaikh Junaid dan melihat bahwa mata Junaid
telah sembuh. “Apa yang telah engkau lakukan?” tanya sang tabib keheranan.”Aku
berwudhu untuk shalat,” jawab Syaikh Junaid.
Seketika itu
pula sang tabib, yang beragama Kristen, mengucapkan dua kalimat syahadat.”Ini
adalah penyembuhan Sang Pencipta, bukan penyembuhan makhluk,” komentar tabib
tersebut. “Wahai Syaikh matakulah yang sakit, bukan matamu. Engkaulah tabib
yang sebenarnya, bukan aku.”
Dengan Nama
Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.Al-Haq (Allah swt.) mengasingkan
diri bersama mereka, dan sifat Uluhiyah di-tajrid-kan bagi mereka. Maka, awal
limpahan pengetahuan Al-Haq datang melalui penyaksian-penyaksian
penampakan-Nya, dan turun-Nya kepada mereka pada awal Uluhiyah. Ke-Azalian
turun pada keabadian, dan kelanggengan baqa’, sampai pada yang tiada hingga,
tiada pangkal. Setelah itu, diikuti dengan sifat Penyaksi yang Menghadang penuh
Perkasa; Keangkuhan tiada tara, Tampilnya paksaan, Tingginya Kesombongan, Pemaksa
kekuasaan dan Dahsyatnya pelenyapan, Agungnya kebesaran dan Agungnya
keperkasaan. Dengan hal demikian, lalu Dia mengasingkan Diri, Maha Besar dan
Maha Luhur dengan Keagungan. Al-Haq Tegak, bersama Al-Haq untuk Al-Haq. Al-Haq
bersama Al-Haq sebagai Hakim bagi hukum.Dia Esa dalam Kemandirian Perkasa-Nya,
Esa, Sendiri dan segalanya bergantung kepada-Nya. inilah awal penyaksian
Turun-Nya kepada orang yang dilimpahi Nama ini, dan orang itu ditempati Nama
tersebut di hadapan-Nya. Hal itu diiringi dalam penjagaan benteng-Nya
dengan-Nya dan bagi-Nya dari Asmaul Husna-Nya, baik yang ditunjukkan atau
belum, berupa Asma-asma al-Jam’u mat-Tafriqah sekehendak-Nya ketika dalam
penampakan maupun penyembunyian. Diantaranya ada yang jelas dalam pembuktiannya
dan gamblang dalam wilayah pencariannya, terlihat sebab akibat arahnya,
beristirahat dalam tempat-tempatnya, di sana dan di sini dalam kendaraannya.
Lantas sifat-sifat menjadi fana’ dengan melintasnya penghimpunan menurut teknis
hakikat, yang kemudian ditutupinya. Di dalamnya tersembunyi, lalu dihilangkan.
Padanya terhampar lalu disimpannya. Semula mendiami lalu dibinasakan. Ketika
dikalahkan lalu dipaksanya. Lalu keasingan-keasingannya musnah berpisah tanpa
sambung; membubung dengan susunan namun tanpa jenis aturan. Lalu meninggi
dengan dzahir nya, dan penampakan keruntuhannya melalui pemandirian
hukum-hukumnya. Lalu pada saat seperti itulah, bercerai-berai lenyap;
kesombongan saling menyombong; keperkasaan saling memerkasakan, lalu pada kala
seperti itu, muncullah “mana”-nya “mana”, (ainal ain) padahal “mana” itu tidak
menempati waktu (masa).
Lalu ke
manakah perginya “mana” menurut kelanggengan Azalinya? Sedangkan mana yang
tidak mana bagi-Nya, dan tidak di mana di dalamnya berada dalam Kemandirian
Uluhiyah. Itulah sebagian apa yang dihamparkan Al-Haq dengan-Nya dalam Nama
Al-Jam’u.Kemudian berlaku kepada mereka sesuatu yang berlaku dalam pandangan,
dalam bukti penyaksian yang mempertemukan Al-Haq, kepada siapa pun yang
demikian sifatnya atas nama-Nya Yang Sendiri dan ilmu-Nya yang murni. Ini
merupakan isyarat yang tidak bisa diulas lebih banyak. Dan tidak memahami jenis
isyarat itu kecuali dengan keadaan yang telah kami sebutkan di atas. Banyak
yang telah diliputi uraian tersebut, namun aku tidak mampu mengungkapkannya.
Raihlah
melalui sesuatu yang tidak bisa diraih kecuali dengan-Nya, manakala mengetahui
Al-Haq dengan pengetahuanmu dan di dalam pemahamanmu.Maka di antara sebagian
yang dipertemukan oleh Al-Haq dalam Nama at-Tafriqah adalah: Nama itu ditahan
oleh penampakan sesuatu yang dipakai oleh mereka, dan dipakainya untuk
menjelaskan apa yang mereka tahan. Mereka dalam laku permukaannya penuh dengan
kesaksian-kesaksian yang rahasia terpendam. Manakala diperlihatkan apa yang
mereka teliti, tenggelamlah tempat penemuan oleh ketersembunyian rahasiannya.
Mereka dalam penyaksian-penyaksian apa yang ditampakkan kepada mereka menurut
kebisaaan apa yang diperlihatkan kepada mereka. Lalu mereka melihat pancaran
apa yang sedang dilihatnya; yaitu melihat pancaran rahasia yang terjaga, yang
mengguncang mereka dalam penampakan apa yang tersembunyi itu. Hal itu terjadi
ketika belum diberikannya sifat ini kepada mereka pada tirai yang asing. Lalu
ditampakkan bukti kesaksian pencurahan dan pelimpahan rasa kasihan dari perkara
yang mendahului. Mereka ditampakkan dengan-Nya ketika mereka diterima oleh-Nya
bersama-Nya. Dan pengagungan kedudukan-Nya di sisi mereka, melalui
berita-berita adanya penemuan yang terpenuhi, dan pemenuhan pada setiap yang
dicintai, dicari dan disenangi, melalui penyempurnaan purnanya kesucian dan
manunggalnya anugerah yang beruntun. Lalu mereka dikasihani dalam tempat aman
bagi mereka, melalui penyaksian mereka kepada-Nya, yang ghaib dari diri mereka,
dan mengambil apa yang diterima mereka, dan mencabut apa yang membuat mereka
gembira dari anugerah dan rasa kasihan-Nya, dan mereka dihentikan oleh kehendak
agar sampai kepada-Nya, dan pencarian kepada-Nya; berupa kontra-kontra
kesaksian yang dahulu.Seandainya engkau melihat mereka dengan mata
penyaksian-Nya pada mereka, dan melihat dengan kenyataan apa yang ditempatkan
kepada mereka, tentu engkau akan melihat berbagai sandera yang terbelah-belah
dan terlenyapkan, serta melihat penyiksaan arwah-arwah luluh lantah.
Mereka
dihanyutkan melalui pelenyapan dalam Keperkasaan Malakut-Nya, dan mereka
dilenyapkan dengan limpah-ruah cobaan Al-Haq dengan pemusnahan oleh-Nya, dengan
sesuatu dimana mereka mendapatkan pertolongan dari-Nya, dan dengan itu Pula
kepada-Nya, dalam tekanan-tekanan kegelisahan bencana yang membuat mereka
mengaduh. Nafas-nafas mereka dikumpulkan dalam nafas-nafas mereka, dan ruh-ruh
mereka ditahan dalam ruh-ruh mereka. Dan dengan begitu mereka ke sana-ke mari,
dan dari-Nya, bersama-Nya, kepada-Nya mereka menunggalkan diri.Inilah, sebagian
ilmu Tauhid dihamparkan oleh hamba-hamba Kinasih-kinasih-Nya. Selesailah (bab
ini), dengan memuji kepada Allah dan dari Allah dan dari Allah pula. ‘Semoga
Allah menganugerahkan rahmat-Nya kepada Muhammad dan seluruh keluarganya, dan
memberikan keselamatan dengan keselamatan penuh.’
Dengan Nama
Allah Yang Maha Pengasih Maha Pemurah.
Hazrat
Maulana Syaikh Abul Oasim al-Junaid — Radhiyallahu anhu — ditanya tentang etika
penempuh jalan Allah Azza wa jalla, maka al-Junaid menjawab, “Hendaknya engkau
ridha terhadap Allah Azza wa Jalla dalam seluruh tingkah laku ruhani, dan
hendaknya engkau tidak meminta kepada siapa pun kecuali kepada Allah Ta’ala.”
Beliau juga ditanya tentang intuisi kebaikan, apakah intuisi itu hanya satu
atau banyak? Al-Junaid menjawab, “Kadang-kadang bisikan (intuisi) yang mengajak
pada kepatuhan itu terdiri dari tiga arah:
1. Bisikan
yang dibangkitkan oleh intuisi syetan
2. Bisikan nafsu yang dibangkitkan intuisi syahwat dan peringanan beban; dan
3. Bisikan Rabbany yang dibangkitkan oleh intuisi taufik.
2. Bisikan nafsu yang dibangkitkan intuisi syahwat dan peringanan beban; dan
3. Bisikan Rabbany yang dibangkitkan oleh intuisi taufik.
Ketiganya
sulit dibedakan dalam hal ajakannya untuk patuh. Untuk membedakan harus
didasari amaliah yang benar, sebagaimana sabda Rasulullah saw, “Barangsiapa
dibukakan pintu kebaikan, maka cepatlah ia meraihnya.” Dan tentunya, kita harus
menolak pintu terbuka di luar kebajikan. Sementara intusi syetan itu berdasar
firman Allah swt.:”Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa bila mereka ditimpa was-was
dari syetan, mereka ingat kepada Allah, maka ketika itu juga mereka melihat
kesalahan-kesalahannya.” (O.s. Al-A’raaf: 201).
Sedangkan
intuisi syahwat yang merupakan bisikan nafsu, berdasar sabda Rasuluilah saw,
“Neraka itu dihiasi oleh kesenangan-kesenangan.” Masing-masing intuisi atau
bisikan tersebut memiliki perbedaan spesifik yang bisa dibedakan oleh pihak
yang mendapatkannya.
Bisikan
nafsu yang dibangkitkan intuisi syahwat dan upaya pencarian keringanan beban
dan kesenangan; maka dalam konteks ini, syahwat terbagi menjadi:
1. Syahwat Nafsaniyah, Seperti cinta kedudukan dan keluhuran, usaha membalas (dendam) ketika marah, dan merendahkan pihak yang kontra kepadanya, dan sebagainya; serta
2. Syahwat jasmaniyah, seperti makan, minum, kawin, berpakaian, bersih, dan sebagainya.
1. Syahwat Nafsaniyah, Seperti cinta kedudukan dan keluhuran, usaha membalas (dendam) ketika marah, dan merendahkan pihak yang kontra kepadanya, dan sebagainya; serta
2. Syahwat jasmaniyah, seperti makan, minum, kawin, berpakaian, bersih, dan sebagainya.
Bagi nafsu,
ada upaya kebutuhan pada obyek-obyek kenikmatan ini menurut jangkauan
masing-masing dan tekanannya yang kuat kepada masing-masing ragam dari nafsu
tersebut.
Bagi orang
yang mendapatkan bisikan nafsu ada dua tanda yang berdiri pada posisi seorang
saksi yang adil dalam membedakan bisikan yang ditentukan:
Pertama,
bisikan itu datang di saat ada kebutuhan mendesak pada unsur-unsur yang serupa
tersebut, seperti munculnya keinginan kawin ketika hal-hal yang disenangi sangat
mendesak, namun kebutuhan itu dijumbthkan, bahwa tujuan kawin itu mengamalkan
perintah Nabi saw, “Nikahlah kalian, agar kalian menurunkan keturunan. Sebab
aku akan berlomba-lomba memperbanyak ummat lewat kalian di hari Kiamat.” Juga
seakan-akan didasari oleh sabda Nabi saw, “Tak ada kependetaan di dalam Islam,”
hal yang sama juga dalam soal makan di saat lapar. Lalu kadang-kadang
dijumbuhkan dengan ajakan pada dirimu untuk meninggalkan puasa atau mendapatkan
hal-hal yang menyenangkan, dengan alasan tersebut. Misalnya engkau mengatakan,
bahwa puasa yang terus-menerus itu bisa melemahkan keinginan untuk taat; dan
bahwa meninggalkan makanan yang enak ini, bisa melukai teman Muslim yang
mengundangnya; atau bisa melukai perasaan keluarga manakala makanan itu memang
sangat diminati oleh keluarganya.
Tetapi
kadang-kadang ada godaan yang mengkhianatimu dengan warna lain, misalnya ada
bisikan yang mengatakan kepadamu, “Jauhilah nafsu dengan meraih hal-hal yang
tidak menyenangkan, agar bisikan nafsu itu tidak masuk kepadamu, yang bisa
merusak ibadahmu,” dan sebagainya yang serupa. Semua ini merupakan godaan dan
penyimpangan bisikan tersebut.
Semisal dengannya, ketika ada rasa berat dan enggan untuk beribadah, lalu bisikan itu datang dengan menggunakan alasan hadis bahwa Nabi saw. melarang “tidak nikah”, melarang pemaksaan diri, seperti sabdanya, “Lakukanlah amalmu semampumu,” dan sabdanya lagi, “Pohon yang ditumbuhkan, tidak pada bumi yang gersang, juga tidak pada tanah yang kasar.” Bahkan memperbanyak ibadah yang mendorong keletihanmu, syahwatnya mencegah untuk menjurus pada rusaknya ibadah atau mencegah untuk berpaling dari ibadah. Lantas membawamu pada bunuh diri atau penjara dan sepadannya, karena adanya khayalan atas dua kondisi tesebut, yang menjanjikan kesenangan dan hilangnya beban.
Semisal dengannya, ketika ada rasa berat dan enggan untuk beribadah, lalu bisikan itu datang dengan menggunakan alasan hadis bahwa Nabi saw. melarang “tidak nikah”, melarang pemaksaan diri, seperti sabdanya, “Lakukanlah amalmu semampumu,” dan sabdanya lagi, “Pohon yang ditumbuhkan, tidak pada bumi yang gersang, juga tidak pada tanah yang kasar.” Bahkan memperbanyak ibadah yang mendorong keletihanmu, syahwatnya mencegah untuk menjurus pada rusaknya ibadah atau mencegah untuk berpaling dari ibadah. Lantas membawamu pada bunuh diri atau penjara dan sepadannya, karena adanya khayalan atas dua kondisi tesebut, yang menjanjikan kesenangan dan hilangnya beban.
Salah satu
dari dua bukti dari bab ini, diawali dengan kejenuhan dan kepayahan, ketika
muncul keinginan untuk lepas beban, dan diawali dengan sesuatu yang
menyenangkan yang dimunculkan oleh intuisi syahwat. Karena itu harus direnungkan
perihal dua kondisi tersebut. Apabila telah didahului oleh dua motivasi
tersebut, berarti itu bisikan nafsu. Kebutuhan nafsu adalah faktor yang
mengajak dan menggerakkannya. Kesimpulannya bahwa bisikan tersebut bersifat
syahwat atau keinginan pada hal yang menyenangkan. Maka pada galibnya bisikan
seperti itu pasti dari nafsu. Sedangkan saksi kedua adalah desakan bisikan ini
dan tidak adanya pemutusan terhadap bisikan tersebut, hingga datangnya semacam
kemampuan sepanjang engkau menolak dan berjuang melawan nafsumu, yang mendesak
dan mengeraskan kepalamu, lalu muncul desakan bahwa memohon perlindungan, rasa
takut, waspada dan rasa suka itu tidak ada gunanya. Bahkan yang muncul adalah
dorongan yang mendesak terus-menerus. Yang demikian ini merupakan bukti-bukti
yang gamblang, bahwa desakan demikian dari nafsu. Sebab nafsu itu seperti
anak-anak, ketika anak-anak di larang malah tampak keras kepalanya.Dua kondisi
seperti itu merupakan bukti yang adil, manakala bertemu, tidak bisa diragukan
sebagai bisikan nafsu. Terapinya untuk menanggulangi masalah ini adalah kontra
secara radikal dan upaya yang penuh. Engkau harus mencegah keinginan bebas
beban di saat muncul pembangkit bisikan kepayahan dan kelelahan ibadah, atau
posisi yang memberatkan, agar bisa mencegah gerakan intuitif seperti itu.
Apabila bisikan itu bersifat emosi syahwat, terapinya melalui tindak preventif
terhadap faktor yang memburunya, atau engkau menolak dari kesenangan lain agar
lebih kuat tindak pencegahannya.
Sedangkan
intuisi syetan ditandai dengan dua hal pula:
Pertama, dengan munculnya sebagian apa yang dibutuhkan nafsu melalui ajakan syahwat atau ajakan bebas beban dalam waktu-waktu yang diinginkan sebagai tuntutan nafsu. Perbedaan antara intuisi syetan dan intuisi nafsu, bahwa intuisi syetan itu sangat mendesak. Kedua, intuisi syetan itu dimulai dan ditimpakan pada akalnya, sementara intuisi nafsu berkaitan dan menggerakkan wataknya seperti syahwat dan rasa senang. Oleh sebab itu was-was syetan berjalan menuruti alur pembicaraan manusia dengan dirinya. Hanya saja perbedaan di sana-sini tidak terlihat jelas.
Pertama, dengan munculnya sebagian apa yang dibutuhkan nafsu melalui ajakan syahwat atau ajakan bebas beban dalam waktu-waktu yang diinginkan sebagai tuntutan nafsu. Perbedaan antara intuisi syetan dan intuisi nafsu, bahwa intuisi syetan itu sangat mendesak. Kedua, intuisi syetan itu dimulai dan ditimpakan pada akalnya, sementara intuisi nafsu berkaitan dan menggerakkan wataknya seperti syahwat dan rasa senang. Oleh sebab itu was-was syetan berjalan menuruti alur pembicaraan manusia dengan dirinya. Hanya saja perbedaan di sana-sini tidak terlihat jelas.
Manusia
menggerakkan hatimu dari arah indera pendengaran di saat berbicara; atau
mendengar dan melihat ketika menunjukkan (mengisyaratkan); serta merasakan
ketika meraba; sementara syetan mengganggu melalui was-was dan perabaan hati
serta membisik dalam hati. Syetan tidak tahu yang ghaib, namun ia datang kepada
nafsu dari sisi akhlak yang direkayasa untuk dilakukannya. Inilah perbedaan
antara intuisi nafsu dengan intuisi syetan.
Adapun intuisi Rabbany, ditunjukkan melalui dua bukti.
Adapun intuisi Rabbany, ditunjukkan melalui dua bukti.
Pertama,
muncul berselaras dengan syariat bagi pelakunya, dan ada bukti-bukti
kebenarannya. Kedua, tidak diawali hasrat nafsu ketika menerima intuisi
tersebut, justru muncul ragam keleluasaan. Intuisi tersebut merobohkan nafsu,
tanpa adanya permulaan seperti pada intuisi syetan. Hanya saja kecepatan nafsu
berselaras dengan intuisi syetan, lebih banyak, lebih gamblang, dan lebih
membuatnya malas. Karena syetan itu tiba dari sisi syahwat dan kesenangannya.
Sedangkan intuisi Rabbany datang dari segi beban dan tugas. Nafsu menolak
kedatangan tugas dari intuisi Rabbany. Inilah perbedaan antara intuisi Rabbany,
intuisi nafsu dan intuisi syaithany. Apabila engkau kedatangan bisikan atau
intuisi, maka timbanglah dengan tiga kriteria di atas, buktikan dengan
bukti-bukti yang kami tunjukkan, sehingga engkau bisa membedakan berbagai
intuisi.
Jadikanlah
intuisi syetan dan nafsu — sebagaimana kami sebutkan untukmu — untuk ditolak,
lalu bergegaslah dengan intuisi Rabbany. Jangan engkau abaikan intuisi Rabbany
itu, sebab waktu itu sempit dan kondisi ruhani itu bisa berubah.
Engkau harus
waspada dengan buaian nafsu dan was-was syetan. Sebab pintu ini termasuk pintu
kebajikan yang dibukakan untukmu, maka raihlah hingga engkau bisa memulai dari
awalnya.
Misalnya,
muncul bisikan kepada orang yang dianjurkan berpuasa pada sebagian bulan atau
qiyamullail, lalu bisikan itu datang, “Sudahlah, nanti saja kalau malam sudah
habis,” atau kata-kata, “Nanti saja kalau bulan akan habis,” padahal bisikan
seperti itu adalah rekayasa bagi pemilik pintu taufik.
Bisikan-bisikan
seperti itu tidak abadi, namun cepat berubah. Sedangkan bergegas untuk
berpegang erat pada intuisi Rabbany, sangat dianjurkan syariat. Ada dua manfaat
di dalamnya:
Pertama, bahwa waktu yang ada adalah waktu yang paling sempurna, seperti waktu-waktu dimana hadist-hadist menyebutkan turunnya anugerah Allah Azza wa Jalla, dan turunnya rahmat serta ampunan. Sementara pandangan-pandangan Allah swt. kepada makhluk-Nya tiada terbatas.
Pertama, bahwa waktu yang ada adalah waktu yang paling sempurna, seperti waktu-waktu dimana hadist-hadist menyebutkan turunnya anugerah Allah Azza wa Jalla, dan turunnya rahmat serta ampunan. Sementara pandangan-pandangan Allah swt. kepada makhluk-Nya tiada terbatas.
Kedua,
semangat untuk menjalankan perintah-perintah dan taat ketika muncul berkah
dibalik amal. Di sinilah rasa malas menjadi sirna, karena berhadapan dengan
hembusan-hembusan Rahmat Allah Ta’ala. Demikian pula sekaligus menjadi manfaat
olah jiwa (riyadhah nafsu) untuk segera melaksanakan perintah-perintah. Wallahu
A’lam w` Ahkam.Demikian akhir dari ucapan Abul Qosim al-junaid — semoga Allah
menyucikan ruhnya dan mencerahkan kuburnya. Dan segala puji hanya bagi Allah
Tuhan sementa alam, serta shalawat dan salam semoga terlimpah pada junjungan
kita Muhammad, beserta keluarga dan sahabatnya semuanya, dengan salam sejahtera
yang melimpah ruah.
Wejangan Spiritual
Maulana Syaikh Junaid al Baghdadi
Aku
bertanya, “Betapa menakjubkan berita yang engkau berikan kepadaku, betapa
kalangan yang dinisbatkan dengan sifat yang luhur itu berlaku aturan? Bagaimana
itu terjadi, sampai aku mengetahuinya?”
Ia menjawab, “Pahamilah, Ketika mereka mencari-Nya dalam kehendak-Nya, dan diri mereka terhalang, lantas mereka mencari-Nya dalam pelimpahan-Nya tehadap mereka, pada harapan bencana yang ada pada sifat-sifat mereka. Karena kelezatannya ada pada mereka, dimana mereka menutupi mereka agar melaksanakan dengan kejatiandirinya dan berkerja dengan indra mereka serta menikmati kelezatan dengan diri mereka dalam tempat-tempat kebanggaan, hasil-hasil dzikir dan pelimpahan paksa.
Ia menjawab, “Pahamilah, Ketika mereka mencari-Nya dalam kehendak-Nya, dan diri mereka terhalang, lantas mereka mencari-Nya dalam pelimpahan-Nya tehadap mereka, pada harapan bencana yang ada pada sifat-sifat mereka. Karena kelezatannya ada pada mereka, dimana mereka menutupi mereka agar melaksanakan dengan kejatiandirinya dan berkerja dengan indra mereka serta menikmati kelezatan dengan diri mereka dalam tempat-tempat kebanggaan, hasil-hasil dzikir dan pelimpahan paksa.
Bagaimana
engkau mengetahui hal itu, padahal tidak ada yang mengetahuinya kecuali
ahlinya, tidak bisa menemukan selain mereka dan tidak ada yang kuat selain
mereka pula. Bagaimana engkau tahu, kenapa mereka mencari-Nya namun juga
menghalangi-Nya, lantas mereka berperantara dengan sesuatu dari-Nya sebagai keharusan
kepada-Nya, dan mereka pun memohon pertolongan dalam keperantaraan itu melalui
hakikat-hakikat yang ada pada-Nya? Karena sebenarnya Dia telah mempertemukan
mereka dengan Wujud-nya untuk mereka. Lalu Dia menetapkan ghaibnya
rahasia-rahasia-Nya dalam diri mereka dan kepada mereka, yang sampai
kepada-Nya. Maka terhapuslah makhluk-makhluk dan terputuslah berbagai
kebutuhan, sehingga hubungan menjadi melimpah, derajat menjadi luhur, melalui
kesirnan indra dan kefana’an diri.
Kemudian
mereka dihadirkan oleh fana’ dalam kefana’an mereka, dan mereka dipersaksikan
Wujud dalam wujud mereka. Sesuatu yang menghadirkan dan mempersaksikan mereka
dari diri mereka, adalah tirai yang samar dan hijad yang lembut, dimana mereka
menemukan tirai pada sekat kesirnaan dan kepayahan yang berat, untuk menutupi
segala yang tidak selaras, berupa sebab-sebab langsung, dengan menghadirkan
berbagai sebab yang layak, dan layak pula sifatnya bagi makhluk. Maka mereka
pun mencari sesuatu itu di tempat-tempat pencarian mereka, namun mereka tidak
mengetahuinya dari dalam diri mereka. Karena mereka menempati tempat kekuatan,
dan mereka meraih hakikat-hakikat kehormatan, maka pada mereka ditempatkan
sesuatu yang menyibukkan mereka. Maka muncullah sepenuhnya yang ada dan yang
tidak ada pada sifat. Walaupun sikat cobaan bertambah.”
Aku meminta,
“Uraikan ragam cobaan mereka kepadaku di tempai-tempat mereka yang menakjubkan
dan kedudukan mereka yang dekat!”
Ia menjawab, “Mereka merasa sudah cukup dengan apa yang ada, lalu mereka keluar dari segala hajat kebutuhan, meninggalkan telaah, menggunakan kemenangan dengan mengerahkan kemampuan, dan dengan sergapan kebanggaan. Dengan begitu mereka memandang kepada segala sesuatu melalui apa yang ada pada mereka, tanpa menaiki tahap yang ada pada-Nya, sehingga mereka menegakkan keterpisahan dan keterputusan. Maka ketika mereka melihat dan menemukan dengan dua matanya, dan terlimpahi dua perkara, tiba-tiba tampak lembah AI-Haq di hadapan mereka, yang datang dari-Nya untuk mereka, berupa sesuatu yang diperuntukkan bagi mereka, untuk berkonsentrasi kepada-Nya sepenuh kemampuannya. Maka keluarlah mereka dari hal tersebut tanpa ada keraguan kepada-Nya, memprioritaskan terhadap kemandirian sukacita mereka, yang menunjukkan kepada-Nya dan meyakinkan dengan penuh kelapangan dada. Mereka tidak ingin kembali atas apa yang ada pada diri mereka dan tidak ingin pula mencari tempat yang menuju kepada mereka. Bila keadaannya demikian, mereka diliputi oleh cobaan, sementara mereka tidak tahu.”
Aku berkata, “Engkau telah membuat aneh akalku dan menambah ketololanku. Karena itu dekatkan pada pemahamanku.”
Ia menjawab, “Mereka merasa sudah cukup dengan apa yang ada, lalu mereka keluar dari segala hajat kebutuhan, meninggalkan telaah, menggunakan kemenangan dengan mengerahkan kemampuan, dan dengan sergapan kebanggaan. Dengan begitu mereka memandang kepada segala sesuatu melalui apa yang ada pada mereka, tanpa menaiki tahap yang ada pada-Nya, sehingga mereka menegakkan keterpisahan dan keterputusan. Maka ketika mereka melihat dan menemukan dengan dua matanya, dan terlimpahi dua perkara, tiba-tiba tampak lembah AI-Haq di hadapan mereka, yang datang dari-Nya untuk mereka, berupa sesuatu yang diperuntukkan bagi mereka, untuk berkonsentrasi kepada-Nya sepenuh kemampuannya. Maka keluarlah mereka dari hal tersebut tanpa ada keraguan kepada-Nya, memprioritaskan terhadap kemandirian sukacita mereka, yang menunjukkan kepada-Nya dan meyakinkan dengan penuh kelapangan dada. Mereka tidak ingin kembali atas apa yang ada pada diri mereka dan tidak ingin pula mencari tempat yang menuju kepada mereka. Bila keadaannya demikian, mereka diliputi oleh cobaan, sementara mereka tidak tahu.”
Aku berkata, “Engkau telah membuat aneh akalku dan menambah ketololanku. Karena itu dekatkan pada pemahamanku.”
Ia menjawab,
“Para pemilik cobaan (ahlul bala’) ketika sedang bertemu dengan Sang Pembicara
Yang Benar pada diri mareka, dan hikmah-hikmah-Nya berlaku pada mereka, maka
rahasia-rahasia mereka jadi asing, arwah-arwah mereka lebur sepanjang umur,
hingga tidak menghinggapi wilayah-wilayah dan tidak pula menenterami. Ia
menjadi mesra dengan Sang Pengujinya, dan manja dengan kefana’an pemanja yang
lunglai. Ia benar-benar digelisahkan oleh kesirnaannya, sedang kehinaannya
adalah kerinduannya, dimana ia didahagakan dan dilaparkan di hadapan-Nya,
digelorakan rindu kepada-Nya, yang diikuti oleh dahaga demi dahaga akan
bertumbuhan. Ia di paksa oleh ma’rifatnya, dan tergilas oleh kesirnaannya.
Kedahagaan kepada-Nya agar terus menuju paripurna, sementara setiap tutup yang
terbuka adalah ilmu baginya, yang dirasakan melalui rasa fakir, yang dibaharui
dengan memandang kemungkinan jerih payah, yang dibebani oleh pengaruh bahan
makanan (jiwa), rindunya sampai membelah gelisahnya, yang senantiasa mecari
obatnya.
Ia
senantiasa menggantungkan jejak-jejak Sang Kekasih: segala yang jauh di mata,
amatlah dekat. Ia ditirai dengan persembunyian karena sirna tirainya yang harus
dipakai di hadapan-Nya. Ia merasa lapang dada dengan kemusnahannya melalui
cobaan yang ditimpakan kepadanya. Ia sudah tak peduli dengan dirinya sendiri,
cukup dengan cintanya, dan ketergantungan dalam tempat taqarrubya. Ia melihat
batas-batas kejapan-kejapan dalam kecepatan bangunnya. Kebinasaannya tenggelam,
lalu mengalir pada dirinya dalam kelanggengan abadi, dan pemedihan cobaan,
bahkan sampai cobaan itu sendiri lekat nikmat dengannya, dan merasa masra
dengan cobaan itu demi keabadiannya. Ketika ia melihat-Nya begitu dekat, ia mencegah
dirinya dengan mendatangi sengantanya. Ia tak pernah merasa lelah memikulnya,
tidak diletihkan oleh kebosanannya. Mereka adalah orang-orang gagah dalam
menghadapi cobaan, karena adanya kegembiraan bagi mereka. Mereka berdiri dalam
keperkasaan-Nya, menunggu perintah-Nya, agar Allah melakukan suatu perintah
untuk dilaksanakan.
Kalangan
ahlul bala’ ini terbagi menjadi dua golongan: Di antara mereka ada yang
menyenangi pada cobaan-Nya, maka lalu ia tenteram pada kehendak-Nya, ia tak
memedulikan kesenangan untuk memuaskan dirinya terhadap segala sesuatu.
Kesenangannya dengan wujud rasanya, hingga ia terkalahkan dan termakar
dengannya, yang membuatnya cerai-berai. Namun ia bersiap diri untuk menyambut
cobaan-Nya sebagai kehormatan, dan ia memandang bahwa penyebab keluar dari
cobaan adalah faktor yang menyebabkan kekurangan dan kelemahan ..
mantap
BalasHapus